Total Pageviews

Wednesday, August 22, 2012

Di Universiti Kehidupan



Dalam hidup, banyak perkara yang terjadi tidak seperti yang kita jangka.

Kadang-kadang tanpa disangka, hidup kita yang semanis kurma tiba-tiba bertukar menjadi sepahit pucuk betik.

Pahit atau tidak, apabila sudah ada dalam mulut, kita terpaksa juga menelannya.

Menziarahi pelajar saya yang berusia tiga puluh dua tahun itu dan melihat bagaimana kuatnya dia menghadapi sebuah kehilangan, benar-benar mengajar saya sesuatu.

Allah telah mengambil si suami di Jumaat Ramadan yang mulia. Anak-anak sekecil lima, tiga tahun dan empat bulan seakan memahami hati si ibu yang pastinya masih dalam "mimpi".

Ungkapan "syukur, rezeki saya agaknya, anak-anak seakan terlalu memahami..." saya kira merupakan antara elemen-elemen penting dalam membina kekuatan hati.

Melihat wajahnya yang tenang, saya tahu dia yang pernah menjadi murid saya di kelas enam belas tahun lalu, bakal kembali menjadi murid saya dalam universiti kehidupan.

"Barangkali dalam usia saya, ibu menghadapinya dulu..." dia meneka. Saya menggeleng.

"Tidak. Lebih awal. Dan panjang sekali masanya untuk kembali bangkit!" kata saya.

"Tapi kami langsung tak perasan yang ibu ada masalah besar. Langsung tak perasan!" dia menyambung.

Sebab di kelas, saya ibu guru yang ceria.

Meskipun kehilangan, situasi kami berbeda.

Suaminya pergi sebab Allah memintanya kembali.

Saya? Tidak perlu mengenang apa-apa.

Mencium dahinya di akhir pertemuan, saya tahu dia menangis.

Tetapi saya datang berziarah, bukan untuk melihat dia bersedih. Saya datang untuk menyuntiknya semangat juang.

Dia cepat menyeka mata. Mendukung anak kecilnya yang bertubuh agam, dan menghantar saya ke tangga.

Melihatnya begitu, saya yakin dia mampu melukis peta hidupnya.

Dia akan kembali belajar di universiti kehidupan sehingga berjaya ke pentas untuk menerima segulung ijazah!