Total Pageviews

Tuesday, September 18, 2012

Dia Si Burung Merak



Saya peminat lelaki ini sejak sekolah.

Kali pertama dan terakhir melihat dia beraksi solo membacakan puisinya ialah ketika saya menjadi mahasiswi di Universiti Malaya sekitar pertengahan sembilan belas delapan puluhan.

Melihat betapa dia yang sangat berenergi ketika membuat persembahan solo di pentas DBP itu, memang mengujakan sekali.

Si Burung Merak!

Menurut ceritanya, ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya di sebuah kebun binatang di Yogyakarta, lelaki ini berseru sambil ketawa terbahak-bahak. “Itu Rendra! Itu Rendra!” jeritnya.

Sejak itu, dia digelar Si Burung Merak.

Sebabnya dia punya dua isteri. Seperti burung merak yang berjalan dengan dua betinanya.

Willibrordus Surendra Broto Rendra kelahiran Solo, Jawa Tengah pada November Tujuh 1935. Almarhum meninggal dunia pada Ogos Enam 2009 di Depok, Jawa Barat pada usianya yang memanjat tujuh puluh tiga.

Rendra memilih Islam pada tanggal Ogos Dua belas 1970 dengan nama yang dikenali sebagai Wahyu Sulaiman Rendra.

Ada puisinya yang tersimpan dalam helaian lusuh sebuah buku simpanan saya. Saya menyalinnya dengan pensel, maka tulisannya sudah agak kabur.

HAI ..... MA !
Oleh : WS. Rendra

Ma,
bukan maut yang menggetarkan hatiku
tetapi hidup yang tidak hidup...
karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya

ada malam-malam aku menjalani
lorong panjang tanpa tujuan ke mana-mana
hawa dingin masuk ke badanku yang hampa
padahal angin tidak ada
bintang-bintang menjadi kunang-kunang
yang lebih menekankan kehadiran kegelapan
tidak ada pikiran, tidak ada perasaan,
tidak ada suatu apa…..

hidup memang fana Ma,
tetapi keadaan tak berdaya
membuat diriku tidak ada
kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara,
dijauhi ayah bunda dan ditolak para tetangga
atau aku terlantar di pasar, aku berbicara
tetapi orang-orang tidak mendengar
mereka merobek-robek buku
dan menertawakan cita-cita
aku marah, aku takut, aku gemetar,
namun gagal menyusun bahasa

hidup memang fana Ma,
itu gampang aku terima
tetapi duduk memeluk lutut sendirian di savanna
membuat hidupku tak ada harganya
kadang-kadang aku merasa
ditarik-tarik orang ke sana-kemari,
mulut berbusa sekedar karena tertawa
hidup cemar oleh basa-basi dan
orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan
yang tanpa persoalan, atau percintaan tanpa asmara,
dan senggama yang tidak selesai

hidup memang fana, tentu saja Ma
tetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola
mengacaukan isi perutku
lalu mendorong aku menjerit-jerit sambil tak tahu kenapa

rasanya setelah mati berulang kali
tak ada lagi yang mengagetkan di dalam hidup ini
tetapi Ma,
setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku ini
aku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhku
kelenjar-kelenjarku bekerja, sukmaku menyanyi,
dunia hadir, cicak di tembok berbunyi,
tukang kebun kedengaran berbicara kepada putranya
hidup menjadi nyata, fitrahku kembali

mengingat kamu Ma
adalah mengingat kewajiban sehari-hari
kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi
kita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma
masing-masing pihak punya cita-cita,
masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata

hai Ma,
apakah kamu ingat aku peluk kamu di atas perahu
ketika perutmu sakit dan aku tenangkan kamu
dengan ciuman-ciuman di lehermu
Masya Allah, aku selalu kesengsam dengan bau kulitmu
ingatkah waktu itu aku berkata :
kiamat boleh tiba, hidupku penuh makna
wuah aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini

dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa bahwa
kemaren dan esok adalah hari ini
bencana dan keberuntungan sama saja
langit di luar langit di badan bersatu dalam jiwa

sudah ya Ma…

-WS RENDRA

Waktu kejadian kecamuk politik tanah air, dia ikut berkongsi rasa. Barangkali kerana penjara bukanlah sesuatu yang asing buat penyair di bumi Indonesia atau di mana sahaja, dia cepat memahami derita orang-orang yang terpenjara.

Saya menemui catatan Saudara Anwar Ibrahim berikutan pemergian sahabatnya itu.

“Dukacita saya diberitakan bahawa Si Burung Merak, yang senantiasa megah mengibarkan sayap sudah pun menutup usianya.

Tatkala menerima berita pemergian sahabat lama — Wahyu Sulaiman Rendra — yang lebih dikenali sebagai WS Rendra, saya masih di Afrika Selatan.

Dua minggu lalu, sewaktu mengunjungi beliau di Jakarta, saya cuba mendorong Allahyarham agar cekal sambil menghimbau kenangan Kereta Kencana (nota IBM: hanya mereka saja yang mengerti maknanya).

Saya hiba dan terharu tatkala mengenang betapa beliau senantiasa menzahirkan sokongan kepada saya dan keluarga sewaktu saya dipenjarakan. Dan puisi Rajawali nukilan beliau jadi pembakar semangat sepanjang saya menjadi tapol di Sungai Buloh.

Allahyarham Rendra membuktikan bahawa kata-kata bukan saja mampu merempuh benteng kekuasaan, bahkan jua, kesaktian ampuh menerobos hati manusia buat menguak pintu kesadaran.

Saya dan Azizah berdoa moga roh Allahyarham Rendra diberkati Allah SWT dan ditempatkan bersama mereka yang soleh. Buat Ken Zuraida dan keluarga, didoakan moga tetap cekal bersabar dan kuat semangat.

Al-Fatihah…”

Diturunkan puisinya untuk Saudara Anwar:

Paman Doblang! Paman Doblang!
Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap.
Tanpa lampu. Tanpa lubang cahaya. Pengap.
Ada hawa. Tak ada angkasa.
Terkucil. Temanmu beratus-ratus nyamuk semata.
Terkunci. Tak tahu di mana berada.

Paman Doblang! Paman Doblang!
Apa katamu?
Ketika haus aku minum dari kaleng karatan.
Sambil bersila aku mengharungi waktu
lepas dari jam, hari dan bulan
Aku dipeluk oleh wibawa tidak berbentuk
tidak berupa, tidak bernama.
Aku istirah di sini.
Tenaga ghaib memupuk jiwaku.

Paman Doblang! Paman Doblang!
Di setiap jalan mengadang mastodon dan serigala.
Kamu terkurung dalam lingkaran.
Para pengeran meludahi kamu dari kereta kencana.
Kaki kamu dirantai ke batang karang.
Kamu dikutuk dan disalahkan.
Tanpa pengadilan.

Paman Doblang! Paman Doblang!
Bubur di piring timah
didorong dengan kaki ke depanmu

Paman Doblang, apa katamu?
Kesedaran adalah matahari.
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakerawala.
Dan perjuangan
adalah perlaksanaan kata-kata.

- WS RENDRA

Lelaki itu telah berangkat ke ribaan Tuhan.

Tapi sayapnya yang megah berwarna-warni masih jelas di mata saya...dan betapa runtun tangisnya dia menangani hidup yang bejat dan bobrok ini, adalah realiti yang biasa kita hadapi kelmarin, hari ini dan esok.